Review Motor 'Lexi' yamaha
BUKAN SEBAB DESAIN SAJA, LEXI KURANG LAKU JUGA KARENA NAMA LEXI LX ITU SENDIRI.
Memiliki Lexi sudah tidak se-menyesal dulu awal beli.
Tadinya agak dilematis. Mau dijual lagi, rugi bandar. Mau lanjut dipake kok rasanya gini. Coba diakalin.
Soal shockbreaker yang biadab, solusinya cukup mudah. Saya ganti shock belakang dengan shocknya Suzuki Address. Sedang per depan diganti per Suzuki Skywave. Persetan dengan shock tabung bawaan yang cuma enak di pandang itu.
Hasilnya lebih manusiawi buat sendirian, buat boncengan + bawa barang juga empuk. Kalo masih kurang enak, coba cek, barangkali lupa belum dikasih garam. Boleh lah, pak-pak Yamaha silaturahmi ke Suzuki membicarakan perihal racikan shockbreaker. Kalo masih ada sisa waktu, sekalian tanya rumus soal durabilitas ya, pak.
Ban bawaan sering bikin terpeleset, padahal di jalanan kering. Saya ganti merk langganan, sekalian naik ukuran. Depan 100/80, belakang 110/80. Fixs, masalah teratasi. Selain saya kira ukurannya jadi proporsional. Apakah jadi tambah berat?.
Karena Lexi LX saya agak pemalas, 3 bulan baru jalan sekitar seribu km. Takut si Lexi jadi obesitas, saya ajak olahraga naik gunung, sekalian tes ban. Pas saya ajak nanjak tajam, si Lexi seperti bilang;
"segini doang, mas?".
Ya, motor ini sangat effortless menghadapi jalanan extrim, sekalipun boncengan.
Maaf, sebagai bapak-bapak muda yang ingin sok low profile, saya tidak suka modifikasi. Ubahan pada Lexi LX, saya mewarisi dari kakek 75.000 tahun lalu, setelah Sapiens mengalami revolusi kognitif. Lelaku manusia -hanya- untuk mengatasi penderitaan, rasa sakit dan menghindari kematian.
Rasa sakit dari bantingan shock sudah ketemu solusi. Resiko kematian dari terpeleset juga sudah teratasi. Nah, derita dari banyak teman yang komentar soal desain Lexi ini belum ketemu rumusnya. Setelah dipikir, sebenarnya Lexi bukan salah desainnya, cuman salah tahun lahir saja.
Coba kalo launching pas jaman VOC, misalnya. Pasti para bangsawan merasa sangat berwibawa menunggangi kuda besi berbaju plastik yang alis lampunya absurd. Rakyat yang terjajah juga senang, bayar upeti cukup dengan 5 kg umbi. Karena kapasitas bagasi tuan penjajah hanya muat segitu. Ehh
Sudah, itu saja. Tidak perlu sampai ganti lampu yang menyilaukan, apalagi pake knalpot brong. Jangan ya dek, ya. Takutnya jadi do'a buruk dari mereka yang kesilauan. Percayalah, tidak ada orang yang suka knalpot bising. Kecuali motormu minimal 2 silinder, tampangmu keren, attitudemu adem. Yang sangar cukup saldo rekeningmu saja. Itupun kalo di kawal uwiw-uwiw, orang jadi mengurungkan salutnya padamu.
Konsumsi BBM oke lah, selagi tidak se-haus CRV gen 3, berarti masih aman. Biar akurat ala-ala tukang review, saya ajak Lexi jalan-jalan napak tilas ninja Hatori. Mendaki gunung lewati lembah dan samudra blablabla. Dari kilometer yang diperoleh, dapet sekitar 1:45 km. Jika di anggap masih boros, bisa di standar dobel di ruang tamu. Jangan lupa ganjal kesetnya.
Sejajar dengan akselerasi mesin yang ngejambak, dan putaran tengah sampai atas juga nendang. Soal kapasitas tangki bensin yang seuprit, -terpaksa- saya kategorikan ke nilai plus motor ini. Biar tidak terlena menikmati riding position yang nyaman, harus sering istirahat mampir pom bensin. Selain juga meningkatkan kuantitas saling lempar senyum, bertegur sapa dengan petugas SPBU.
Masalah inti Lexi LX bukan pada desain, tangki, kaki jinjit atau keluhan lainnya, tetapi pada nama Lexi LX itu sendiri. Katanya keluarga Maxi Yamaha. Para kakaknya kan cuma pakai satu huruf di tambah max. N max, T max, X max, contohnya. Iya, Aerox beda, tapi itu nama yang cukup keren.
Saran, tahun depan Yamaha beli 100 kambing di pasar hewan, untuk slametan ganti nama. C max, B max, L max, F max, terserah. Asal jangan fufvfafa.
Kalau cuma "Fafa" boleh banget. Nama yang simple, flamboyan, bermartabat dan ada mewah-mewahnya.
Saya kira akan semakin banyak warga indo yang iuran memperkaya orang Yamaha, demi meminang motor bernama Fafa. Jangan lupa 2% hasil penjualan untuk pencetus ide. Eghemm.
Ya kali sepanjang saya melintasi 4 kabupaten plat R, hanya ketemu Lexi LX 2 biji. Setidak-laku itukah?. Kasihan sekali Lexi LX yang dianaktirikan. Biar begitu, memelihara Lexi seperti merawat anak pungut yang coba saya gali bakat terpendamnya dengan skotlet bening. Hasilnya, warna lembayung yang bersembunyi dibalik hitam dof, bisa lebih terekspos.
Alih-alih berdebat dengan istri dan digunjing tetangga gonta-ganti motor, saya bertekad merawat Lexi LX yang membuat saya lebih sentimentil. Saya kira mayoritas pengguna Lexi adalah orang yang dewasa dan rasional. Walau bisa di bilang motor yang nyaris jelek, join di grup fesbuk adalah langkah paling ringan untuk sekedar saling share soal keluh kesah, tukar solusi dan sedikit pamer membuat pengguna Lexi lebih bermakna. Meskipun masih ada beberapa anggota yang otaknya belum berevolusi, nanti saya tambahin tanda (*ini) di balasan komentar mereka.
Lebih dari sekedar semakin di depan, tetapi juga menuju tak terbatas dan melampauinya. Melakoni laku sufistik atas sifat qona'ah, nrima ing pandum hidup membersamai Lexi LX, yang semoga awet bersama penulisnya, sampai Sapiens berevolusi menjadi homo Deus di tahun 2100 mendatang.
Tidak ada komentar:
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.